Si Pahit Lidah - Part 4

Lalu salah seorang tetua dusun menganjurkan kepada seluruh penduduk untuk menggantungkan kerak nasi di setiap depan rumah mereka. Melihat hal ini Si Pahit Lidah mengira penduduk daerah itu telah berbudaya tinggi sekali. Sehingga mereka bisa menganyam nasi, maka si Pahit Lidah tak jadi singgah di dusun Kotanegara. Sebab rakyatnya telah cerdik dan pintar-pintar, mungkin ia tak dapat melawan kesaktian mereka. Si Pahit Lidah kembali menuju Ulu menyusuri sungai Ogan. Mendekati satu tepi berbatu-batu yang keliahatan ditata sebagai tempat pemandian.


Ia mendengar suara bunyi gendang ditabuh bertalu-talu, suara sorak sorai penuh tawa. Suara lelaki dan perempuan berbalas-balasan. Ia mendekati arah suara-suara itu dengan mengendap-endap. Dari jauh nampak dua sejoli sepasang suami-istri sedang diarak dengan paying lebesaran. Mereka hendak melaksanakan adat pengantin turun mandi penyuci diri. Si pengantin pria adalah putra raja yan baru saja menikahi adis cantik jelita. Dari kejauhan Si Pahit Lidah secara iseng bertanya,

Si Pahit Lidah : Sedang berpesta apa kalian?

 karena ia berada di kejauhan, lagi pula suara gendang bertalu-talu maka orang-orang itu tak mendengar pertanyaannya. Karena pertanyaannya tidak dijawab maka si Pahit Lidah menjadi marah dan berucap,

Si Pahit Lidah : Barangkali mereka semua adalah batu!

Seketika keramaian itu terhenti dan semua orang menjadi batu. Maka hingga kini tempat itu dinamakan Batu Raja. Demikianlah Si Pahit Lidah terus mengembara di sepanjang perjalanan ia menimbulkan ketakutan penduduk setempat karena setiap bertemu orang ia menyihirnya menjadi batu. Sehingga lama-lama ia dijauhi manusia dan hanya hidup seorang diri. Tiap desa yang dilaluianya selalu mencari cara untuk menumpas atau mengalahkan kesaktiannya.

Pada suatu ketika penduduk Komering Ilir minta bantuan orang sakti bernama Puyung Tuan. Puyung Tuan menyarankan agar semua penduduk menggantungkan potongan-potongan jala di pinggir pintu masuk jalan desa. Kemudian potongan jala itu dibakar menjadi abu dan lengket di tempat semula. Ketika Si Pahit Lidah sampai di daerah Komering Tengah ia melihat renda-renda jala terkait di batang-batan bamboo. Si Pahit Lidah mengira penduduk daerah itu sudah memiliki kesaktian yang jauh lebih tinggi darinya karena jala pun dapat mereka renda abu.

Maka Si Pahit Lidah mengurungkan niatnya memasuki daerah itu. Pengembaraan si Pahit Lidah menjadi tak tentu arah. Sampi suatu ketika ia sampai di sebuah kerajaan Tanjung Menang, raja negeri itu bernama Nurullah atau si Empat Mata. Si Pahit Lidah melewati kebun milik raja yang dijaga tiga puluh tentara. Karena kehausan ia minta buah jeruk kepada penjaga kebun. Penjaga kebun tak berani memberikan, takut dimarahi raja. Maka si Pahit Lidah berucap,

Si Pahit Lidah : Ah jeruk pahit begitu tak boleh diminta, kikir amah sih!

lalu si Pahit Lidah berlalu dari tempat itu. Penjaga kebun mengira hal itu hanya kejadian biasa. Tapi esok harinya raja marah-marah karena jeruk yang biasanya manis dan segar sekarang terasa pahit dan tidak enak. Penjaga kebun menceritakan kejadian kemarin siang. Raja kemudian memerintahkan kepada bala tentaranya untuk mencari Si Pahit Lidah yang telah menyihir kebun jeruknya. Dengan berbagai cara akhirnya si Pahit Lidah dapat ditangkap dan dibawa ke hadapan Raja si Empat Mata. Sedianya ia hendak di hukum, namun apa yang terjadi. Sang Raja justru malah merangkul si Pahit Lidah.

Sebab sang raja ternyata adalah kakak si Pahit Lidah sendiri. Maka berangkulan kakak beradik yang telah bertahun-tahun tak bertemu itu. Si Pahit Lidah juga berangkulan dengan keenam saudaranya yang lain. Wajah si Pahit Lidah yang biasanya muram, keruh dan penuh dendam, kini berubah menjadi cerah ceria. Sejak saat itu ia diterima sebagai anggota keluarga istana dan hidup baik-baik sebagai pembantu raja. Ia di beri jabatan sebagai salah satu seorang panglima kerajaan. Si Pahit Lidah atau Pagar Bumi akhirnya menikah dengan seorang cantik di kerajaan itu. Namanya Dayang Merindu.

Dari perkawinannya ini, ia dikarunia seorang putra laki-laki yang montok. Maka lengkaplah kini kebahagiaan Si Pahit Lidah. Ia telah punya kedudukan tinggi, punya istri dan belahan jiwa. Kemakmuran negeri Tanjung Menang mengundang negeri-negeri lainnya, terutama kerajaan teangga di sebelah Ulu. Mereka selalu melakukan gangguan keamanan. Atas usul si Pahit Lidah lidah musyawarah kerajaan untuk membendung alur Sungai Sugian. Demikianlah, pekerjaan raksasa membendung sungai besar itu dipercayakan kepada si Pahit Lidah. Segala dana dan tenaga dikerahkan, dalam waktu yang tidak terlalu lama bendungan hamper saja selesai.

Air sungai berhenti mengalir, padahal air sungai adalah sarana lalu lintas paling penting untuk berhubungan dagang dengan negeri-negeri yang lain. Akibatnya ekonomi tersendat bahkan hampir tidak ada kegiatan perdagangan lagi, kerajaan Tanjung Menang tertutup dari dunia luar. (Lanjut ke Part Terakhir)

1 komentar: