Si Pahit Lidah - Part 3

Pagar Bumi kaget setengah mati. Kini ia sadar bahwa kesaktian telah merasuk ke dalam dirinya. Lidahnya telah bertuah. Sejak itu sifatnya berubah menjadi sombong dan sok iseng. Esok harinya ketika para penduduk desa melakukan kegiatan masing-masing. Ada tiga orang berjalan beriringan melewati tempat Pagar Bumi biasa duduk. Satu persatu orang lewat disapa atau ditegur, tatkala orang itu menoleh seketika mereka berubah menjadi batu. Gegerlah masyarakat di sekitar daerah itu. Pagar Bumi diberi gelar dengan sebutan Si Pahit Lidah.

Kabar itu merebak ke segala penjuru, termasuk daerah yang sekarang disebut Lampung. Saat itu Lampung ada sebuah kerajaan bernama Danau Maghrib. Semula kerajaan itu diperintah oleh raja yang arif dan bijaksana. Sang Raja mempunyai tiga orang anak, yang pertama diberi nama Dewi Santi, yang kedua seorang putra bernama Gunawan Bakti dan yang ketiga juga seorang putra seorang Gunawan Suci. Namun setelah raja wafat, tahta kerajaan diambil alih oleh saudara raja yang memerintah dengan lalim. Ketika mendengar berita yang menggemparkan itu kedua putra raja itu ingin pergi menyaksikan kebenarannya. Mula-mula paman mereka memaksa yang menjadi raja tidak mengijinkan namun karena mereka memaksa akhirnya mereka diperbolehkan keluar istana.

Mereka menunggang kuda pilihan ke Bukit Pesagi. Namun nasib mereka sama seperti orang-orang lainnya yang lewat di hadapan Pagar Bumi. Begitu disapa dana mereka menoleh seketika tubuh mereka langsung menjadi batu temasuk kuda yang mereka tunggangi. Kabar tentang nasib kedua putra raja itu tersebar ke segenap penjuru. Kakak mereka yaitu Dewi Santi menangis tersedu-sedu karena duka yang mendalam. Selama beberapa hari ia tak makan dan tak tidur, pada hari kelima setelah kepayahan Dewi Santi tertidur lelap, dalam tidurnya ia bermimpi didatangi kedua orangtuanya, mereka memberi petunjuk tentang tata cara bagaimana menghadapi si Pahit Lidah dan membebaskan kedua adiknya dari sihir si Pahit Lidah. Esok harinya ia menghadap pamannya yang kini menjadi raja.

Ia minta diijinkan ke Bukit Pesagi guna membebaskan kedua adiknya. Pamannya mengijinkan, sebab raja lalim ini tak mau ada penghalang bagi kelangsungan tahtanya. Kedua keponakannya telah menjadi batu, sekarang keponakannya yang terakhir pasti menyusul menjadi batu pula. Demikianlah, Dewi Santi naik kuda menuju Bukit Pesagi. Ketika mendekati tempat si Pahit Lidah ia segera menyumbat telinganya dengan kapas. Si Pahit Lidah segera menyapanya dengan siulan dan teriakan, namun Dewi Santi tak menghiraukannya sama sekali. Begitulah siasat yang diajarkan ayahnya dalam mimpi. Ternyata dengan cara itu ia telah terhindar dari kekuatan si Pahit Lidah. Sampai di atas Bukit Pesagi Dewi Santi terheran-heran, ia terkesima melihat seekor burung yang pintar bernyanyi dan sebuah pohon yang pandai mengeluarkan bunyi-bunyian seperti music alami.

Namun ia segera sadar, kedatangannya bukan untuk menghibur diri, namun untuk membebaskan kedua adiknya yang telah menjadi batu. Sesuai amanat ayahnya ia melompat turun dari kuda lalu melangkah ke pangkal pohon beringin, di salah satu celah batang pohon ia mengambil sebuah peti kayu yang di dalamnya berisi abu. Kemudian ia kembali naik kudanya., menuruni bukit ke tempat adiknya berada. Perjalanan sang putri kali ini ditemani seekor burung. Sampai di tempat si Pahit Lidah tiba-tiba si burung ajaib menukik tajam tapat dibahu si Pahit Lidah, seketika si Pahit Lidah tak dapat bergerak. Sang putri segera menyumbat mulut si Pahit Lidah dengan persediaan kapas yang dibawanya. Kemudian menaburkan abu dari dalam kotak ke muka orang-orang yang telah membatu. Ajaib seketika mereka berubah jadi manusia.

Dewi Santi buru-buru mengajak mereka semua menyingkir dari tempat itu.

burung ajaib : Cepat waktu kita tinggal sedikit, sebentar lagi orang ini dapat bergerak lagi.

Si Pahit Lidah terpukul jiwanya, ia benar-benar merasa malu dikalahkan oleh seorang gadis cantik yang tampaknya lemah lembut itu. Ia kemudian pergi meninggalkan daerah Bukit Pesagi. Ia mulai mengembara lagi, naik gunung turun gunung, hingga sampai di daerah Ogan Komering Ulu. Ia bermaksud menyeberangi sungai Komering namun sungai itu tak ada yang datar karena sungai Komering sedang banjir, airnya dalam, arusnya deras. Karena kecewa ia pergi ke sumber sungai itu yaitu Danau Ranu di kaki Gunung Seminung. Ia bermaksud membendung sungai itu. Dikumpulkannya batu-batu besar, sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit, tidak berapa lama kemudian jadilah dam raksasa yang membendung sungai Komering.

Aliran sungai terhenti. Akibatnya roda perekonomian penduduk sekitar sungai yang menuju laut itu terhenti. Mereka kelabakan, dan berusaha mencari cara agar sungai Komering mengalir kembali. Para pemuka masyarakat kemudian meminta bantuan seorang pintar bernama Puyung Junungan. Puyung Junjungan menemui si Pahit Lidah dan berkata,

Puyung Junjungan :“Hai Pahit Lidah, bendungan telah bocor!

tanpa sadar si Pahit Lidah menulang ucapan Puyung Junjungan.

Si Pahit Lidah : "Apa? Bangunan bendungan telah bocor?

seketika bendungan sungai komering runtuh bagai terkena gempa bumi. Air sungai mengalir seperti semula. Si Pahit Lidah merasa malu, lalu pergi meninggalkan daerah itu. Ia sampai di daerah Kotanegara dekat Martapura. Sebenarnya penduduk daerah itu sudah tau rencana si Pahit Lidah hendak melintasi daerah (Lanjut ke Part 4)

1 komentar: