Si Pahit Lidah - Part 2

Pada suatu hari ia sampai di sebuah desa yang termasuk wilayah kerajaan yang diperintah seorang Ratu wanita sakti yang mempunyai ilmu ghaib. Di desa itu ia berkenalan dengan seorang pemuda sebaya dengannya. Mereka mendengar bahwa sangratu member kesempatan kepada siapa saja untuk belajar ilmu kesaktian kepadanya. Maka kedua sahabat itu pun pergi mengahdap sang ratu untuk menuntut ilmu. Kebetulan yang mendapat giliran pertama adalah temannya. Pagar bumi menunggu giliran di pendopo ruang tunggu.


Karena menunggu terlalu lama akhirnya Pagar Bumi tertidur lelap di pendopo. Hingga temannya selesai ia masih tertidur. Padahal namaya sudah dipanggil beberapa kali untuk menghadap sang Ratu. Celakanya si teman ini tidak membangunkannya, ia terus saja pulang meninggalkan Pagar Bumi. Karena namanya dipanggil beberapa kali tidak segera menghadap maka beberapa pengawal mencoba membangunkan Pagar Bumi dengan cara kasar, namun Pagar Bumi tetap belum bangun dari tidurnya. Sang Ratu pun akhirnya tak sabar, ia segera menghampiri Pagar Bumi. Ia mencoba pula membangunkan Pagar Bumi, namun tindakannya sia-sia. Lalu sang Ratu kembali ke ruang dalam. Sesaat kemudia ia kembali lagi dengan membawa secangkir air putih yang telah diberi mantra dan reramuan.

Air tersebut dituangkan sang Ratu ke dalam mulut Pagar Bumi. Pemuda itupun sadarkan diri. Terbangun dari tidurnya. Ia terkejut mendapati dirinya berada dihadapan sang Ratu dan para hulu balalang yang berwajah angker. Tetapi dimana temannya tadi. Mengapa ia tidak hadir di tempat ini. Para pengawal kemudian menjelaskan bahwa temannya telah lama pergi ketika masih tertidur lelap. Menyadari hal ini Pagar Bumi merasa malu dan kemudian segera berpamit keluar istana, ia telah lupa pada niatnya semula untuk berguru kepada sang Ratu. Pagar Bumi berjalan ke arah barat hingga di tepi pantai ujung kulon. Tak disangka sang teman yang telah dianggapnya sahabat itu telah menghianati dirinya. Sementara itu sang Ratu berkata kepada para pengawalnya.

Ratu :walaupun dia belum sempat belajar ilmu, dalam tempo empat puluh hari dari sekarang tapi ia akan beroleh kesaktian melalui lidahnya, karena aku telah memberinya ramuan berisi mantra ghaib ke dalam mulutnya.

Pagar Bumi berniat berniat menyebrangi Selat Sunda. Kebetulan ada perahu dagang yang hendak menyeberang, ia ikut menumpang di atas perahu sekunar itu. Maka sampailah ia di Pulau Sumatera. Ia terus berkelana ke pedalaman. Pada suatu hari ia sampai di sebuah dusun di daerah Sumatera Selatan. Karena kelelahan ia beristirahat di bawah pohon rindang, berbantalkan tunggul kayu besar yang telah mati. Sungguh aneh, walau tempatnya beristirahat tak jauh dari keramaian, namun tidak seorang memperhatikan dirinya. Penduduk desa itu seperti tidak melihat kehadiran seorang asing di daerahnya. Berhari-hari menyaksikan kegiatan penduduk sambil bersandar di tunggul kayu besar. Selama itu pula ia tidak diperhatikan oleh para penduduk.

Pagar Bumi : mereka itu sombong semua atau memang tidak bisa melihatku?

pikir Pagar Bumi suatu ketika. Pada suatu hari ada kegiatan yang luar biasa ramianya. Lalu datang para penduduk sangat ramai di sekitar tempat itu. Pagar Bumi penasaran, ada apa gerangan? Ia segera bangkit berdiri dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepasang matanya terbelalak kaget, tunggul kayu yang dijadikannya bantal dan sandaran telah berubah menjadi batu. Ia tak habis piker mengapa hal itu bisa terjadi. Lalu ia ikut berjalan kemana orang-orang itu berbondong-bondong pergi. Ternyata mereka sudah pergi ke sebuah bukit yang menjulang tinggi yang disebut Bukit Pesagi. Di bukit itu terdapat pohon beringin besar yang di salah satu tangkainya bertengger seekor burung berbulu teramat indah sekali. Anehnya pohon beringin itu bisa mengeluarkan aneka suara bunyi-bunyian seperti layaknya sebuah pertunjukkan orchestra.

Sementara sang burung mampu bernyayi dan berbicara layaknya manusia saja. Jika paduan orchestra dan nyanyian berirama gembira maka seluruk penduduk tertawa gembira. Sebaliknya jika paduan music itu berirama sedih maka seluruh penduduk menangis tersedu-sedu. Musik dan lagu itu kadangkala diselingi pidato dari sang Burung yang didengarkan dengan seksama oleh semua penduduk. Di senja hari barulah penduduk beranjak meninggalkan Bukit Pesagi. Pagar Bumi juga beranjak pulang. Di tengah perjalanana, ada seekor kijang melintas di depannya. Pagar Bumi kaget dan spontan tiba-tiba ia berteriak,

Pagar Bumi : “batu!”

Sungguh ajaib, tiba-tiba kijang tersebut tiba-tiba berubah menjadi batu. ( Lanjut ke Part 3 )

1 komentar: